Monday, October 22, 2007

* Tafsir Demokratis "Ayat Ketaatan"

Kadangkala, sebuah penafsiran yang berkembang tak ubah seperti ‘tiket perjalanan’ yang hanya berlaku untuk sekali jalan dan untuk satu tujuan. Terkadang, ia laksana bangunan tanpa arsitek yang mengatur tata letaknya, ia laksana piano tanpa seniman yang memainkan jemari diatas tuts – tutsnya. Atau pula ia ibarat sebongkah kaca yang diyakini bahwa ia tak akan retak oleh lelehan timah sekalipun, tapi justru pecah berantakan kala gerigi kikir nan mungil menyentuh.

Jika menafsirkan firman Allah swt, “Taatlah kamu sekalian kepada Allah, RosulNya dan kepada Ulil amri diantara kalian”, dengan satu kecenderungan, maka itu akan menempatkan kita pada sebuah ‘Kungkungan Ketaatan ‘ yang tertutup rapat dan terkunci. Serta mendorong sebagian orang untuk berkilah dan menempatkan kepatuhan terhadap hakim ( penguasa ) dalam kapasitasnya sebagai ulil amri sama seperti ketaatan kepada Allah swt, dan Rosul-Nya. Dan inilah yang akan menyulut menggelegaknya pemikiran egosentris, primordial bahkan kediktatoran.

Oleh karena itu, hal ini butuh pembacaan ulang yang lebih komfrehensip dan sempurna.

Kosa kata ‘al amr’ di dalam al Qur’an muncul berkali – kali dengan makna yang berlainan. Semisal firman – firman Allah swt. berikut :

لله (الامر) من قبل و بعد.... اليه يرجع (الامر) كله.....والي الله ترجع (الامور)....... ومــا كــا لمؤمن ولا لمؤمنة اذا قضي الله ورسولــه ( امرا) أن يكون لهم الخيرة من أمرهم........ كنتم خير أمة اخرجت للنــاس ( تأ مرون) بالمعروف و تنهون عن المنكر........ ومــا ( أمرنــا) الا واحدة كلمح البصر.......... أتــي (أمر) الله فلا تستعجلوه .....و( أمرهم) شـــوري بينهم......... و غرتكم الأمــا نــي حتــي جــا (أمر)اللـــه-----

Begitu pula adanya dengan sabda – sabda Baginda Nabi saw. Kosa kata al amr seringkali muncul dengan makna yang berbeda. Sebut saja sabda Sang Nabi saw. berikut :

من أحد ث فــي ( أمرنــا ) هــذا مــا ليس منه فهو رد -----,

نحن معشر الأنبيــاء ( أمرنــا ) ان نخاطب الناس علــي قدر عقولهم ----,

Atau apa yang terucap dari bibir Rosul saw. kepada paman beliau, Abu Thalib, di sebuah peristiwa pada fase permulaan dakwah:

واللــه يا عمــي, لو وضعوا الشمس في يميني والقمر في يســاري علي أن أترك هـذا الأ مر مــا تركته حتي يظهره اللــه أو أهلك دونه .

Maka dari sekian contoh diatas, jelaslah bahwa al amr adalah kosa kata general yang luas cakupan maknanya. Ia bisa berarti memerintahkan, agama, dan perkara / urusan. Oleh karena itu, adalah tidak mungkin untuk membatasi makna yang diinginkan dengan satu arti saja tanpa memperhatikan lebih lanjut ke konteks dan konstruksi linguistik tempatnya termuat.

Selanjutnya jika kita kembali ke firman Allah swt. tadi, bahwasanya jika ada yang menafsirkan ayat tersebut hanya dengan kewajiban patuh dan ta’at kepada hakim ( pemimpin ), maka mereka

( sebenarnya) tidak pernah menengok kalimat “ Taatlah kepada Allah dan taatlah kamu sekalian kepada RosulNya”. Mereka hanya melihat ke أولــي الأمر منكم saja, itupun dengan pemangkasan dan pembatasan makna kearah hakim ( penguasa ) dan pemimpin saja. Padahal pada saat yang sama para pemimpin itu juga Mukhôtobûn dengan ayat – ayat al Qur’an layaknya manusia- manusia yang lain.

Ketaatan kepada Allah disini, adalah seperangkat keharusan yang diniscayakan oleh keimanan terhadap yang tak terlihat ( ghaib ), dan selanjutnya ketaatan ini bersifat mutlak. Begitu pula dengan kepada Rosul saw. yang bersumber dari pengakuan mutlak yang pada tataran berikutnya meniscayakan kepatuhan yang mutlak juga.

Nah, lantas bagaimana dengan ketaatan pada ulil amri ?.

Ini menjadi ruang perbedaan dan sumber perdebatan.

Adalah benar bahwa kepatuhan kepada ulil amri tidak melonjak naik ke derajat penghambaan (ubudiyah) yang hanya untuk Allah swt. semata. Sebagaimana juga ia tidak sampai ke derajat ittiba’ yang merupakan milik Rosulullah saw.

Jika kita memahami kosa kata al amr dengan makna agama, maka yang dimaksud dengan ayat tersebut ( an nisa’ : 59 ) adalah para ahli agama, bukan hakim / penguasa.

Namun hal tersebut akan menempatkan kita pada posisi yang musykil dan sulit. Terlebih bagi komunitas muslim yang hidup dan berdomisili di daerah atau negara yang dipimpin oleh seorang non-muslim. Apakah mereka wajib mentaatinya atau tidak ?.

Lain halnya jika kita memaknai al amr dengan perkara atau urusan, maka sudah tentu cakupan maknanya akan lebih luas. Dan maksud dari ulil amri sendiri akan menjadi para pemegang urusan atau perkara, yang merupakan refresentasi dari orang – orang berpengalaman, cerdik – sebatas apa yang dikaruniakan Allah swt. kepada mereka – khusus, serta terpilih. Adalah kenyataan bahwa mengartikan al amr dengan perkara atau urusan akan lebih baik dan luas serta realistis. Karena cakupan makna tersebut akan merambah ke segala aspek dan spesifikasi serta akan fleksibel tentunya.

Misalnya, seorang yang cerdas dan berpengalaman dalam hal perjalanan ( traveling ), maka dengan serta merta mereka adalah ulil amri dalam hal tersebut. Dan kepatuhan kepada mereka – dalam hal perjalanan – akan mendatangkan keselamatan, ketentraman perasaan dalam perjalanan. Maka dari sini, mentaati mereka dalam kapasitas dan spesifikasi yang mereka kuasai adalah mesti. Tanpa melihat ras, kewarganegaraan, bahkan agama mereka sekalipun. Karena mereka adalah ulil amri , pemegang urusan, dan ahli yang cakap dan berpengalaman.

Perumpamaan di atas tentu bisa dianalogikan ke sisi – sisi kehidupan yang lain. Sebut saja dokter misalnya, dia adalah ulil amri dalam hal medis, farmasi, dan penyakit. Hakim dan pengacara adalah ulil amri pada hal – hal yang berkaitan hukum dan tata peradilan. Begitu pula dengan polisi, mereka ulil amri juga, namun pada bidang mereka. Yaitu tentang rambu – rambu lalu lintas, keamanan,dan perlindungan. Dan begitu seterusnya.

Dengan menempatkan terma ulil amri sebagai kalangan profesional dalam bidangnya, kita akan mendapatkan bahwa seorang anggota masyarakat pada satu waktu akan menjadi seorang yang harus ditaati. Namun pada lain kesempatan, ia juga berkewajiban untuk mentaati. Contoh sederhana, seorang pegawai bank seyogyanya ditaati oleh nasabah bank tersebut. Tapi ketika si pegawai bank tersebut ada di jalan, maka ia haruslah patuh pada polisi lalu lintas disana. Sebagaimana ia juga mesti nurut pada cleaning service dalam hal kebersihan, dan kepada ahli agraria jika menyangkut masalah pertanian. Begitu seterusnya sehingga tercipta daerah pemahaman yang luas, menyentuh ke segenap unsur masyarakat tanpa dikhotomi.

Ketaatan kepada uli amri yang sesuai dengan paparan makna di atas menginginkan kepatuhan yang utuh, keteraturan, saling menghormati, rasa tanggung jawab dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya secara proporsional.

Seandainya hal ini bisa terwujud, betapa kuatnya pengakuan dan penghormatan terhadap profesionalisme orang lain, entah besar atau kecil, niscaya akan tercipta dunia yang dinamis, tumbuh dan berkembang serta lebih berwarna. Tidak hanya hitam atau putih.

Dan jika berkelanjutan, maka akan lahir komunitas masyarakat teladan, masyarakat madani yang diidamkan oleh para agamawan dan filosof itu!.

Untuk lebih jelasnya, mari kita ambil contoh untuk membedakan antara ketaatan kepada Allah, Rosul-Nya, serta kepada Ulil amri .

Allah swt, memerintahkan hambaNya untuk mendirikan shalat dalam frmanNya : وأقيمواالصلاة Ini adalah bentuk perintah yang menghendaki kepatuhan mutlak. Lantas untuk penjelasan selanjutnya baginda Nabi saw, pun bersabda : صلوا كمــا رايتمونــي أصلــي

Disini kita harus mengikuti ( Ittiba’) tata cara yang dicontohkan oleh Nabi saw, secara mutlak pula. Nah, setelah itu baru datang peran ulil amri .

Mereka memang tidak mewajibkan shalat, ataupun mewajibkan tata laksana tertentu dalam mengerjakannya. Namun peran mereka nampak dalam penelitian dan penentuan standar waktu pelaksanaan shalat tersebut. Pakar Astronomi dan Perbintanganlan yang menghitung kapankah waktu zuhur tiba ? Kapankah waktu Asar akan berkahir ?

Begitu pula dengan puasa yang merupakan perintah Ilahi yang mesti ditaati. Ulil amri semisal Mufti, Pakar Astronomi dan Perbintanganlah yang menilik dan meneliti lantas memberitahukan kapan dimulainya Puasa Ramadhan, serta waktu usainya.

Terakhir, Islam adalah agama yang mendorong untuk bermusyawarah, menghargai kebebasan, dan demokrasi. Namun hanya orang – orang yang menjual ayat – ayat Tuhan dengan harga murahlah yang menyempitkan rahmat tersebut. Melambungkan dan melariskan pemikiran – pemikiran keliru yang mengotori agama nan suci ini. Sehingga para musuh Islam dengan berani dan semena – mena menganggap bahkan menuduhkan sesuatu yang sebenarnya jauh dari nilai – nilai Islam yang hanif. Wallahu’alam.(1)

_________________________________

(1) terjemahan kalam Mawlanassyekh Mukhtar Ali M. Addusuqi ra. (Syekh Tarekat Addusuqiyyah al-Muhammadiyyah) yang dimuat dalam koran al-Fajr Edisi 18 Senin 26/9/2005 Hal 26. untuk membaca kalam beliau tersebut silahkan kelik di sini
----------------------------------------
Baca juga di blog sederhana kami tentang:
Foto2 langka dari tanah suci
Biodata Singkat Syekh M.Amin al-Kutbi
Adab seorang murid