Thursday, November 8, 2007

* Keutamaan Talaqqi

S : Tarekat Dusuqiyah Muhammadiyah tidak mengkaji kitab apapun, hanya ilmu Syekh Mukhtar saja yang diterima dan diamalkan !!
J : Tidak penting belajar dari buku atau dari guru... yang penting ilmu yang dipelajari itu benar atau tidak! Namun perlu dirincikan sebagai berikut :
Pertama: Kami tidak menentang kitab-kitab dan ulama' terdahulu selama kebenarannya dapat dipastikan dan dipertanggungjawabkan.
Kedua: Kami tidak mengkaji kitab apapun sebab ilmu Maulana Syekh Mukhtar Ra. bagaikan samudra yang amat sangat luas !! Apa bedanya belajar dari buku berisikan ilmu dengan manusia (wali Allah) yang penuh barokah dan ilmu laduni? bukankah dari buku yang hidup lebih menjamin?
Ketiga: Semua kitab-kitab dahulu kami benarkan (jika memang benar) dan kami akui bahkan kami jadikan sebagai rujukan bila diperlukan. Syekh Mukhtar saja sering menukil kata-kata ulama' dalam kitab-kitab mereka seperti kitab Ihya' Ulumiddin oleh Imam al-Ghazali Ra., kitab-kitab Syekh Abdul-Halim Mahmud Ra., kitab-kitab Syekh Ibnu Arabi Ra. dan lain-lain. Dan yang pasti Qur'an dan Sunnah selalu menjadi pegangan utama beliau.
Keempat: Para ulama' menjelaskan bahwasanya terdapat ilmu-ilmu agama yang boleh dikaji melalui kitab-kitab seperti ilmu Fiqh yang mana sudah baku sejak zaman para imam mazhab yang empat. Terdapat juga ilmu-ilmu yang kadang boleh dikaji melalui kitab dan kadang tidak boleh, seperti ilmu Tasawuf. Syekh Abdul-Qadir Isa sendiri dalam kitabnya Haqa'iq an al-Tashawwuf menerangkan bahwa ada kitab-kitab Tasawuf yang boleh dikaji dan ada yang tidak boleh dikaji melainkan oleh orang-orang khawash saja.
Kelima: Allah sendiri mengatakan: "Bertanyalah kepada Ahli Zikir jika kamu tidak mengetahui", Allah tidak pernah berkata: Bacalah dan kajilah buku-buku jika kamu tidak mengetahui !!
Keenam: Apa yang disusun oleh mereka sekali lagi kami hargai dan kami hormati, akan tetapi yang harus kita ketahui adalah bahwasanya ilmu-ilmu Allah jauh lebih luas dari apa yang ada dalam kitab-kitab itu.
Ketujuh: Dalam hadits diterangkan bahwa Allah Swt. mengutus seorang mujaddid setiap zaman, jikalau kitab-kitab dahulu sudah cukup, lalu apa fungsi diutusnya mujaddid? tentunya untuk mendatangkan hal-hal baru dari Allah Swt. (sang pengutus) untuk umat tanpa menentang ilmu-ilmu dan kitab-kitab yang sudah mendahului (asal benar juga). Lagi pula buku-buku terdahulu itu bisa saja salah cetak, atau sudah di-tahrif / di-tadsis isinya, atau yang baca salah memahaminya, dan seterusnya. Bukankah lebih selamat belajar dari seorang mujaddid, pewaris Rasul dan wali Allah yang ilmunya sudah pasti benar dan luas karena bersumber langsung dari Allah Swt. (ilmu laduni) serta mampu memahamkan umat dengan hikmah dan bashirahnya?
Kedelapan: Sebuah keistimewaan bila kami tidak menggunakan kitab ketika mengaji, itu berarti kami bisa hemat biaya dan tenaga, dan pemahaman lebih terjamin. Lebih istimewa lagi kalau ternyata kami mendapatkan ilmu yang banyak, benar dan kuat padahal tanpa satu bukupun.
Kesembilan: Tasawuf sebetulnya bukanlah ilmu yang dapat diraih melalui buku. Imam al-Junaid sendiri berkata :
إذا أراد الله بعبد خيرا أوقعه إلى الصوفية ومنعه صحبة القراء
Dr. Muhammad Ahmad Darniqah mengatakan :
لو حفظ المريد كتبا متعددة بدون تربية شيخ وإرشاده لن يصل إلى مبتغاه لأن الشيخ المرشد يخلصه من رعونات نفسه الأمارة بالسوء ودسائسها الخفية وهذه القضية لا يمكن أن يحصلها المريد من مطالعة الكتب كما أنه ليس للسالك القدرة في ابتداء سلوكه أن يصل إلى معرفة ربه
Imam Syafi'i Ra. berkata :
شر البلية تَشَيُّخ الصحفية
Ulama' salaf juga telah mengatakan :
من كان الشيخ كتابه كان خطؤه أكثر من صوابه
Syekh Abu Zira'ah mengatakan :
لا يفتي الناس صحفي ولا يقرئهم مصحفي
Syekh Tsaur bin Yazid mengatakan :
لا يفتي الناس الصحفيون
Muhammad Husain Ya'qub mengatakan :
ارحل إلى العلماء ولا تقنع بسماع شريط أو قراءة كتاب
Salah seorang ulama' juga mengatakan :
لا تأخذ العلمَ من الصُّحُفِ ولا القرآنَ من المُصْحَفِ
Syekh Abdul-Wahhab al-Sya'rani Ra. berkata :
سمعت سيدي علياً الخواص رضي الله عنه يقول : إِياك أن تعتقد يا أخي إِذا طالعت كتب القوم وعرفت مصطلحهم في ألفاظهم أنك صرت صوفياً إِنما التصوف التخلق بأخلاقهم ومعرفة طرق استنباطهم لجميع الآداب والأخلاق التي تحلَّوْا بها من الكتاب والسنة
Imam Malik bin Anas Ra. berkata :
إن العلم ليس بكثرة الرواية إنما العلم نور يقذفه الله في القلب
Mahmud al-Murakibi menyebutkan beberapa adab kaum sufi dalam kitabnya Aqa'idushshufiyyah sebagai berikut :
الإكتفاء بالشيخ وتعظيمه والتحذير من سماع العلم من غيره وألا يقرأ كتابا في العلم إلا بإذن الشيخ، وقد حدث هذا مع الشاذلي وشيخه ابن بشيش وكذا الشعراني وشيخه الخواص وابن المبارك وشيخه الدباغ وغيرهم
Kesimpulannya: Seorang murid harus bertasawuf, bersuluk dan bertarekat dengan berguru pada seorang wali mursyid. Harus satu guru dan harus bergantung sepenuhnya kepada guru tersebut serta ilmu yang diamalkan hanyalah ilmu guru, sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama' Tasawuf terkemuka seperti Syekh Abul-Hasan al-Syazuli Ra. (murid Syekh Abdussalam bin Basysisy Ra.) dan Syekh Abdul-Wahhab al-Sya'rani Ra. (murid Syekh Ali al-Khawwash Ra.). Adapun isi buku-buku yang ada hanyalah sebagai maklumat dan wawasan (wacana) saja, dan hanya ilmu guru yang dijadikan sebagai pegangan. Demikianlah tuntutan ilmu tasawuf kepada para salikin yang telah menemukan wali mursyid atau warits muhammadi agar tidak bingung / stress (over dosis).
Adapun mereka yang tidak dapat wali mursyid, mujaddid dan warits muhammadi, maka boleh-boleh saja belajar dari buku dan menjadikannya sebagai pegangan namun harus tetap mencari semampunya seorang warits muhammadi.
Sebagai akhir kata: Boleh saja mengkaji kitab Ihya' Ulumiddin namun bila bertemu dengan Imam Ghazali, mengapa masih harus mengkaji? Boleh saja mengkaji kitab-kitab Hadits, namun bila bertemu Rasul, mengapa masih harus meneliti sanad dan riwayat? Boleh saja membaca buku apapun tentang agama dan tasawuf, mengkaji, mempelajari dan mendalaminya, namun bila bertemu wali mursyid, pewaris Rasul dan imam zaman, mengapa masih harus bergantung pada lembaran kertas?


Saturday, November 3, 2007

* Merokok Itu Tidak Haram

Terlalu banyak makan cabe bisa-bisa terkena penyakit "diare" atau "usus buntu" bahkan bisa menyebabkan "kematian"... terlalu banyak makan gula akan menyebabkan penyakit "gigi bolong" atau "kencing manis" bahkan dapat menyebabkan "kematian"... akan tetapi memakan cabe dan gula itu tidaklah haram... begitu juga halnya dengan rokok, kalau berlebihan menghisap rokok, akan mengakibatkan "sesak nafas", "impotensi" bahkan menyebabkan "kematian"... tetapi merokok itu sendiri tidak haram...! yang tidak halal itu adalah melakukan sesuatu secara keterlaluan / berlebih-lebihan (melebihi kemampuan)...

Ada sebagian orang yang alergi daging kambing, tiap kali ia dikasi daging kambing, besoknya pasti timbul bercak-bercak merah di beberapa bagian kulitnya. Orang semacam ini tidak usah memaksa diri membeli atau memakan daging kambing, karena itu sama saja dengan menghambur-hamburkan duit dan menyiksa diri. Tetapi pada waktu yang sama ia tidak boleh mengharamkannya bagi orang lain. Karena daya tahan tubuh masing-masing kita tidak sama...

Begitu juga dengan halnya rokok, ada sebagian orang yang alergi rokok, baru saja menghisap, ia langsung batuk-batuk. Orang semacam ini tidak usah memaksa diri untuk merokok atau membeli rokok, karena itu sama saja dengan menyiksa diri dan menghambur-hamburkan duit. Tetapi perlu ia ingat, ia tidak boleh mengharamkannya bagi orang lain, karena ada juga orang yang ketika merokok ia tidak batuk (mksudnya, daya tahan tubuh kita beda-beda)...!

MEMBANTAH DALIL 'AQLI ANDALAN UST.NURUDDIN AL-BANJARI

Saya pernah menyaksikan rekaman video ceramah Ust.Nuruddin al-Banjari. Beliau sangat anti terhadap rokok. Dalil-dalil Aqli atau Logika yang beliau jadikan sebagai hujjah bunyinya kira-kira sebagai berikut: "Tembakau pernah disajikan kepada anjing dan kucing, tetapi anjing dan kucing enggan untuk memakannya. itu menunjukkan bahwa tembakau itu menjijikkan. masa sich selera manusia lebih rendah daripada anjing dan kucing?!."

Dalil yang beliau anggap logis itu, saya peribadi tidak terima, karena jangankan tembakau (yang bukan suatu makanan), yang jelas-jelas makanan seperti buah durian dan es cendol-pun kalau disajikan kepada kucing dan anjing, mereka akan enggan untuk memakannya. Apakah berdasarkan kiasan tersebut berarti buah durian dan es cendol itu haram..?!

Nuruddin al-Banjari pernah berguru pada Syekh Yasin al-Fadani yang terkenal sebagai perokok berat. Syekh Yasin al-Fadani adalah seorang sufi yang ahli dalam ilmu hadits bahkan dijuluki sebagai "Musnid Addunia" oleh murid-murid beliau, seperti DR Ali Jum'ah yang menjabat sebagai mufti mesir... DR. Ali Jum'ah pernah ditanya apakah ada Wali yang merokok? beliau mengatakan "Iya" karena ada ulama yang menghalalkan rokok, beda halnya dengan hukum zina, semua ulama sepakat akan keharamannya. DR. Ali Jum'ah memberi contoh wali yang merokok, yaitu Syekh Yasin al-Fadani. "Ketika beliau sedang mengajar, beliau menghisap Syisyah (Rokok Arab) sambil meriwayatkan hadits" ujarnya... (untuk mendengarkan suara Mufti Mesir yang bercerita tentang Syekh Yasin al-Fadani, kelik di sini)

Nuruddin al-Banjari juga memberi alasan lainnya yaitu: tembakau itu menjijikkan dan tidak ada seorangpun ketika hendak melakukan solat jum'at, mengusap tubuhnya menggunakan minyak wangi dengan aroma tembakau... Menurut saya peribadi alasan beliau itu sangat lucu, karena jangankan tembakau, minyak wangi dengan aroma sedap Bakso, Ayam Bakar dll saja tidak kita temukan...! apakah bakso dan ayam bakar juga haram kalau kita kiaskan seperti itu..?!!?

Sejauh apa yang pernah saya pelajari dari Maulanassyekh Mukhtar Ali M.Addusuqi ra. tidak semua yang memudharatkan itu haram, tidak semua yang diharamkan itu haram karena ada mudharatnya, dan tidak semua yang dihalalkan itu halal karena ada manfaatnya. Buktinya pada siang hari di bulan puasa, kita diharamkan untuk makan dan minum, padahal makanan dan minuman itu tidak ada mudharatnya. Syekh Mukhtar juga mengingatkan bahwa tidak semua yang menjijikkan itu haram, buktinya Rasulullah enggan memakan "Daging Dhob", ketika para sahabat bertanya, "apakah daging Dhob itu haram?" beliau menjawab, "tidak haram, tapi saya tidak selera (merasa jijik).

Nuruddin al-Banjari juga mengharamkan rokok dengan alasan banyaknya korban yang mati karena rokok... menurut saya alasan beliau tidak diterima karena lebih banyak jumlah orang yang tidak mati karena rokok daripada jumlah orang yang mati karena rokok. Telah dibuktikan bahwa asap knalpot mobil itu lebih berbahaya daripada asap rokok. Dan telah dibuktikan juga betapa banyak orang yang mati karena tabrakan/accident, apakah dengan demikian mobil itu haram?!

Setau saya, Nuruddin al-Banjari tidak percaya istilah hitung-hitungan atau ramalan mengenai jodoh dan kematian, tapi anehnya beliau percaya ramalan yang mengatakan "sekali menghisap rokok itu, mengurangi umur satu detik atau satu menit." Ramalan itu menunjukkan bahwa para perokok berat yang berumur lima puluhan bahkan tujuh puluhan tahun itu, umur asli mereka lebih dari seratus tahun. benarkah demikian?!

Wallahu A'lamu Bisshawab...

Sedangkan dalil-dalil naqli yang Nuruddin al-Banjari jadikan sebagai hujjah bahwa rokok itu haram, bisa kita bantah dengan beberapa alasan...Selengkapnya Kelik Di Sini>>>

Friday, November 2, 2007

* Sayyidi Abdul-Qadir al-Jaelani Ra.

Sayyidi Abdul Qadir al-Jailani ra. lahir pada tahun 470 H dan wafat tahun 561 H dan dimaqmkan di Bagdad.

Beliau adalah anak dari Musa bin Abdullah bin Yahya Azzahid… singkatnya nsab beliau bersambung sampai Sayyiduna Ali ra. melalui Sayyiduna al-Hasan ra.

Syekh Abdul-Qadir al-Jaelani ra. adalah wali Qutub yang kedua setelah Sayyidi Ahmad Arrifa'i ra. dan nama beliau tercantum dalam “silsilah Kabirah” Thariqat Dasuqiyyah Muhammadiyyah di urutan yang kesebelas setelah Maulanassyekh Mukhtar Ali Muhammad Addasuqi ra.

Bliau pernah berkata: barangsiapa lewat di depan pintu madrasahku, akan diringankan azabnya kelak di hari kiamat.

Pernah suatu hari ada seekor burung mengencingi beliau ketika sedang berwudu, ketika beliau menengok ke arah burung itu, burung yang sedang terbang itu seketika jatuh mati. Lalu beliau mencuci bajunya dan dijual, dan hasil jualannya disedekahkan kepada fakir miskin.

Thursday, November 1, 2007

* Ma'shum dan Mahfuz

Ketika pulpen menulis kata-kata yang melanggar hukum, apakah yang ditangkap itu adalah pulpen atau orang yang menggunakannya untuk menulis…? Jika ada mobil melanggar peraturan lalu lintas, apakah polisi akan mengintrogasi mobil itu atau pengemudi mobil tersebut…?

Tentu pulpen dan mobil bebas dari tuduhan dan hukuman, begitu juga halnya dengan nabi dan wali. Jika saja pulpen sebagai sarana untuk menulis dan mobil sebagai sarana untuk teransportasi itu tidak kita ganggu gugat, mengapa kita berani menuduh dan menyangka bahwa para rasul dan para wali itu pernah berbuat salah, padahal mereka adalah pilihan Allah swt. yang dijadikan sebagai wasilah (sarana) menyampaikan amanat kepada ummat manusia…!

MA'SHUMNYA PARA NABI:
Para nabi dan rasul itu tidak berpotensi untuk melakukan dosa. sekalipun kenyataannya mereka melakukan sesuatu yang menyerupai maksiat, namun pada hakekatnya yang mereka lakukan itu bukanlah suatu dosa. Hal inilah yang disebut dengan (Ma’shum).

Para pakar sejarah menyebutkan bahwa Sayyiduna Ibrahim as. pernah berbohong sebanyak tiga kali. Dan Sayyiduna Yusuf as. sebagaimana dikisahkan dalam Qur’an pernah memasukkan piala (tempat minum) ke dalam karung saudaranya (Binyamin). Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan: “Hai kafilah, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri.” Sayyiduna Yusuf as. memeriksa karung-karung mereka, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya sendiri (Binyamin)…

Kalau kita kias perbuatan Sayyiduna Ibrahim as. dan Sayyiduna Yusuf as. dengan akal sempit kita, kita akan memfonis mereka melakukan dosa besar. Padahal pada hakekatnya perbuatan mereka itu tidak dihitung dosa dan tidak dihisab, karena perbuatan yang demikian itu sudah diatur oleh Allah swt.

MAHFUZNYA PARA WALI:
Para wali juga tidak berpotensi untuk melakukan dosa, dan hal ini disebut dengan (Mahfuz). Artinya, Allah menjaga mereka agar tidak melakukan dosa, sekalipun kenyataanya mereka malakukan sesuatu yang serupa dengan maksiat.

Syekh Mukhtar Ali M.Addusuqi ra. memberi contoh kemahfuzan seorang wali yaitu Sayyiduna al-Khidhr as.(1) beliau pernah melakukan beberapa hal yang dinilai oleh akal sebagai suatu dosa besar, yaitu: membunuh anak kecil yang belum dewasa dan melubangi kapal laut sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an. Walaupun demikian, beliau bebas dari dosa karena itu adalah kehendak Allah swt. Oleh karena itu beliau berkata: “dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” Maksudnya, "yang aku lakukan itu adalah kehendak Allah swt."

PERBEDAAN MA’SHUM-NYA NABI DENGAN MAHFUZ-NYA WALI:

Krena kata-kata عصمة dalam bahasa arab berarti الوقاية والحفظ penjagaan dan pemeliharaan... begitu juga dengan kata-kata محفوظ itu berarti yang dijaga dan dipelihara... maka Syekh Mukhtar ra. mengatakan bahwa kata-kata Ma'shum itu ada perbedan dan kesamaan dengan kata-kata Mahfuz. Ketika beliau ditanya perbedaan antara Ma'shumnya Nabi dengan Mahfuznya Wali, beliau berkata:

عصمة الأنبياء = ضمان (حفظ) فطري...

وضمان (حفظ) الأولياء = عصمة مكتسبة...

Artinya kira-kira: kemaksuman sang nabi adalah kemahfuzan yang fitri/yang alami. Sedangkan kemahfuzan sang wali adalah kemaksuman yang muktasab/diperoleh.

Syekh Mukhtar ra. mengibaratkan seorang nabi/rasul itu seperti perak, emas atau tembaga yang anti karat “stainless steel.” Sedangkan seorang wali itu diibaratkan seperti besi yang berpotensi untuk berkarat, namun dijaga oleh Allah swt dengan cara dioperasi, dicat atau dilapisi dengan bahan yang anti karat…

MEMOHON AGAR MENJADI MA’SHUM:

Ada beberapa golongan yang berwawasan sempit bersikeras tidak menerima pendapat bahwa para Waliyullah itu bisa memperoleh kema'shuman... dalam hal ini saya ingin mengingatkan bahwa banyak sekali hadits dan do'a yang menunjukkan bolehnya memohon kema'shuman, karena hal tersebut tidak mustahil. Beda halnya dengan sifat ketuhanan, tidak ada hadits ataupun do'a yang menunjukkan bolehnya memohon agar dijadikan Tuhan, karena hal demikian mustahil...

Diriwayatkan dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda:

من حفظ عشر آيات من سورة الكهف (عــصــم ) من فتنة الدجال

Artinya kira-kira: “Barangsiapa menghapal sepuluh ayat dari surat al-Kahfi, ia akan maksum (dijaga) dari fitnah dajjal…”

Kita juga tak jarang mendengar doa yang bunyinya:

واجعل تفرقنا من بعده تفرقا مباركا ( مـعـصـومـا )

Yang artinya kira-kira: “dan jadikanlah perpisahan kita menjadi berkah dan Ma'shum (terjaga)…”

Dan yang pernah mengamalkan “Hizib Saifi” yang disusun oleh Imam Ali ra. akan menemui do’a yang berbunyi:

وجعلتني منك في ولاية ( الـعـصـمـة )

Yang artinya kira-kira: “dan engkau ya Tuhanku telah menjadikan aku dalam wilayah kema’shuman (perlindungan)…’

و (اعـصـمـنـي ) من كل هلكة

Yang artinya kira-kira: “dan jadikanlah aku ma’shum (jagalah aku) dari segala yang membinasakan.”

Ibnu Sirin dalam kitabnya “Tafsir Mimpi” mengatakan :

من رأى في المنام أنه قرأ سورة الشعراء ( عـصـمـه ) الله من الفواحش

Artinya kira-kira: barangsiapa bermimpi membaca surat Assyu’ara’, Allah swt akan menjadikannya ma’shum (menjaganya) dari segala perbuatan keji…”

Berdasarkan hadits dan do’a-do’a di atas, bisa kita simpulkan bahwa: apabila kita sebagai seorang muslim biasa, sah-sah saja memohon kema’shuman dari Allah swt. apakah Allah swt tidak mengabulkan do’a para wali-Nya yang memohon kema’shuman tersebut…?!

---------------------------------------------------

Tulisan ini telah dimuat dalam Bulletin al-Qolam Edisi Februari 2008 Kairo-Mesir. Dan yang terkandung dalam tulisan ini pernah dipresentasikan menggunakan bahasa arab dalam acara diskusi yang diadakan oleh Perwakilan Khusus Nahdlatul Wathan Mesir pada tgl 30 Oktober 2007

Sumber: Ilmu-ilmu Mawlanassyekh Mukhtar Ali Muhammad Addusuqi ra. (Syekh Tarekat Dusuqiyyah Muhammadiyyah) yang mana makalah beliau (tentang maksum dan mahfuz) dimuat dalam majalah Attashawwuf al-Islami Edisi Oktober 2006, Koran “al-Buhairah wal-Aqalim” Edisi: 196 dan Koran “Shautul-Ummah” tanggal 4/8/2003

(1) DR.M.Zaki Ibrahim Syekh Tarekat Syaziliyyah Muhammadiyyah dalam kitabnya, “Ushul al-Wushul” mengatakan bahwa Abu Qasim al-Qusyairi, Abu Bakr bin al-Anbari, Abu Ali bin Musa dan sebagian besar ulama tasawuf berkeyakinan bahwa Sayyiduna al-Khidhr as. adalah seorang wali atau hamba yang saleh sebagaimana dinyatakan dalam Qur'an. Syekh Abul-Hasan Assyazili ra. atau Syekh Abu al-Abbas al-Mursi ra. pernah berkata, "yang aku tidak sukai dari para pakar fiqih adalah pendapat mereka bahwa al-Khidir itu sudah mati dan pendapat mereka bahwa al-Hallaj itu kafir." (lihat dalam kitab Atthabaqat al-Kubra, kitab Latha'iful-Minan dan kitab Ihya' Ulum Addin)