Thursday, November 1, 2007

* Ma'shum dan Mahfuz

Ketika pulpen menulis kata-kata yang melanggar hukum, apakah yang ditangkap itu adalah pulpen atau orang yang menggunakannya untuk menulis…? Jika ada mobil melanggar peraturan lalu lintas, apakah polisi akan mengintrogasi mobil itu atau pengemudi mobil tersebut…?

Tentu pulpen dan mobil bebas dari tuduhan dan hukuman, begitu juga halnya dengan nabi dan wali. Jika saja pulpen sebagai sarana untuk menulis dan mobil sebagai sarana untuk teransportasi itu tidak kita ganggu gugat, mengapa kita berani menuduh dan menyangka bahwa para rasul dan para wali itu pernah berbuat salah, padahal mereka adalah pilihan Allah swt. yang dijadikan sebagai wasilah (sarana) menyampaikan amanat kepada ummat manusia…!

MA'SHUMNYA PARA NABI:
Para nabi dan rasul itu tidak berpotensi untuk melakukan dosa. sekalipun kenyataannya mereka melakukan sesuatu yang menyerupai maksiat, namun pada hakekatnya yang mereka lakukan itu bukanlah suatu dosa. Hal inilah yang disebut dengan (Ma’shum).

Para pakar sejarah menyebutkan bahwa Sayyiduna Ibrahim as. pernah berbohong sebanyak tiga kali. Dan Sayyiduna Yusuf as. sebagaimana dikisahkan dalam Qur’an pernah memasukkan piala (tempat minum) ke dalam karung saudaranya (Binyamin). Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan: “Hai kafilah, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri.” Sayyiduna Yusuf as. memeriksa karung-karung mereka, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya sendiri (Binyamin)…

Kalau kita kias perbuatan Sayyiduna Ibrahim as. dan Sayyiduna Yusuf as. dengan akal sempit kita, kita akan memfonis mereka melakukan dosa besar. Padahal pada hakekatnya perbuatan mereka itu tidak dihitung dosa dan tidak dihisab, karena perbuatan yang demikian itu sudah diatur oleh Allah swt.

MAHFUZNYA PARA WALI:
Para wali juga tidak berpotensi untuk melakukan dosa, dan hal ini disebut dengan (Mahfuz). Artinya, Allah menjaga mereka agar tidak melakukan dosa, sekalipun kenyataanya mereka malakukan sesuatu yang serupa dengan maksiat.

Syekh Mukhtar Ali M.Addusuqi ra. memberi contoh kemahfuzan seorang wali yaitu Sayyiduna al-Khidhr as.(1) beliau pernah melakukan beberapa hal yang dinilai oleh akal sebagai suatu dosa besar, yaitu: membunuh anak kecil yang belum dewasa dan melubangi kapal laut sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an. Walaupun demikian, beliau bebas dari dosa karena itu adalah kehendak Allah swt. Oleh karena itu beliau berkata: “dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” Maksudnya, "yang aku lakukan itu adalah kehendak Allah swt."

PERBEDAAN MA’SHUM-NYA NABI DENGAN MAHFUZ-NYA WALI:

Krena kata-kata عصمة dalam bahasa arab berarti الوقاية والحفظ penjagaan dan pemeliharaan... begitu juga dengan kata-kata محفوظ itu berarti yang dijaga dan dipelihara... maka Syekh Mukhtar ra. mengatakan bahwa kata-kata Ma'shum itu ada perbedan dan kesamaan dengan kata-kata Mahfuz. Ketika beliau ditanya perbedaan antara Ma'shumnya Nabi dengan Mahfuznya Wali, beliau berkata:

عصمة الأنبياء = ضمان (حفظ) فطري...

وضمان (حفظ) الأولياء = عصمة مكتسبة...

Artinya kira-kira: kemaksuman sang nabi adalah kemahfuzan yang fitri/yang alami. Sedangkan kemahfuzan sang wali adalah kemaksuman yang muktasab/diperoleh.

Syekh Mukhtar ra. mengibaratkan seorang nabi/rasul itu seperti perak, emas atau tembaga yang anti karat “stainless steel.” Sedangkan seorang wali itu diibaratkan seperti besi yang berpotensi untuk berkarat, namun dijaga oleh Allah swt dengan cara dioperasi, dicat atau dilapisi dengan bahan yang anti karat…

MEMOHON AGAR MENJADI MA’SHUM:

Ada beberapa golongan yang berwawasan sempit bersikeras tidak menerima pendapat bahwa para Waliyullah itu bisa memperoleh kema'shuman... dalam hal ini saya ingin mengingatkan bahwa banyak sekali hadits dan do'a yang menunjukkan bolehnya memohon kema'shuman, karena hal tersebut tidak mustahil. Beda halnya dengan sifat ketuhanan, tidak ada hadits ataupun do'a yang menunjukkan bolehnya memohon agar dijadikan Tuhan, karena hal demikian mustahil...

Diriwayatkan dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda:

من حفظ عشر آيات من سورة الكهف (عــصــم ) من فتنة الدجال

Artinya kira-kira: “Barangsiapa menghapal sepuluh ayat dari surat al-Kahfi, ia akan maksum (dijaga) dari fitnah dajjal…”

Kita juga tak jarang mendengar doa yang bunyinya:

واجعل تفرقنا من بعده تفرقا مباركا ( مـعـصـومـا )

Yang artinya kira-kira: “dan jadikanlah perpisahan kita menjadi berkah dan Ma'shum (terjaga)…”

Dan yang pernah mengamalkan “Hizib Saifi” yang disusun oleh Imam Ali ra. akan menemui do’a yang berbunyi:

وجعلتني منك في ولاية ( الـعـصـمـة )

Yang artinya kira-kira: “dan engkau ya Tuhanku telah menjadikan aku dalam wilayah kema’shuman (perlindungan)…’

و (اعـصـمـنـي ) من كل هلكة

Yang artinya kira-kira: “dan jadikanlah aku ma’shum (jagalah aku) dari segala yang membinasakan.”

Ibnu Sirin dalam kitabnya “Tafsir Mimpi” mengatakan :

من رأى في المنام أنه قرأ سورة الشعراء ( عـصـمـه ) الله من الفواحش

Artinya kira-kira: barangsiapa bermimpi membaca surat Assyu’ara’, Allah swt akan menjadikannya ma’shum (menjaganya) dari segala perbuatan keji…”

Berdasarkan hadits dan do’a-do’a di atas, bisa kita simpulkan bahwa: apabila kita sebagai seorang muslim biasa, sah-sah saja memohon kema’shuman dari Allah swt. apakah Allah swt tidak mengabulkan do’a para wali-Nya yang memohon kema’shuman tersebut…?!

---------------------------------------------------

Tulisan ini telah dimuat dalam Bulletin al-Qolam Edisi Februari 2008 Kairo-Mesir. Dan yang terkandung dalam tulisan ini pernah dipresentasikan menggunakan bahasa arab dalam acara diskusi yang diadakan oleh Perwakilan Khusus Nahdlatul Wathan Mesir pada tgl 30 Oktober 2007

Sumber: Ilmu-ilmu Mawlanassyekh Mukhtar Ali Muhammad Addusuqi ra. (Syekh Tarekat Dusuqiyyah Muhammadiyyah) yang mana makalah beliau (tentang maksum dan mahfuz) dimuat dalam majalah Attashawwuf al-Islami Edisi Oktober 2006, Koran “al-Buhairah wal-Aqalim” Edisi: 196 dan Koran “Shautul-Ummah” tanggal 4/8/2003

(1) DR.M.Zaki Ibrahim Syekh Tarekat Syaziliyyah Muhammadiyyah dalam kitabnya, “Ushul al-Wushul” mengatakan bahwa Abu Qasim al-Qusyairi, Abu Bakr bin al-Anbari, Abu Ali bin Musa dan sebagian besar ulama tasawuf berkeyakinan bahwa Sayyiduna al-Khidhr as. adalah seorang wali atau hamba yang saleh sebagaimana dinyatakan dalam Qur'an. Syekh Abul-Hasan Assyazili ra. atau Syekh Abu al-Abbas al-Mursi ra. pernah berkata, "yang aku tidak sukai dari para pakar fiqih adalah pendapat mereka bahwa al-Khidir itu sudah mati dan pendapat mereka bahwa al-Hallaj itu kafir." (lihat dalam kitab Atthabaqat al-Kubra, kitab Latha'iful-Minan dan kitab Ihya' Ulum Addin)